Syarat Sahnya Menjadi Suami Atau Istri


Sebuah puisi Arab berbunyi yang jika diartikan seperti ini:
Zaman kita ini seperti penduduknya. Penduduknya seperti yang engkau lihat.
Perjalanan zaman dan penduduknya juga sama. Semakin mundur dan mundur.

Syair tersebut bukanlah omong kosong belaka. Tengoklah perilaku penduduk dunia yang kini semakin jauh dari Islam. Contohnya pernikahan sesama jenis yang mulai disahkan di beberapa negara Eropa. Bahkan seorang lesbi di sana diangkat menjadi menteri. Perilaku seperti inilah yang membuat Allah murka terhadap kaum Nabiyullah Luth a.s dulu. sehingga Allah menghujani mereka dengan batu dan membalik bumi tempat mereka berpijak.

Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Di hati mereka diciptakan rasa suka terhadap lawan jenis. Yang tidak memiliki perasaan demikian tentu tidak dapat dikatakan normal. Syariat Islam melarang orang-orang seperti ini mengikuti kata hatinya karena itu adalah sebuah pelanggaran besar dalam Islam. Bahkan orang banci pun (yang memiliki kelamin ganda) tidak boleh menikah sampai bisa ditentukan jenis kelaminnya, lelaki atau perempuan. Karenanya, marilah kita pelajari dengan seksama syarat-syarat menjadi istri atau suami, supaya permasalahan ini menjadi jelas dan gamblang.

Untuk menjadi suami, ada enam syarat yang harus dipenuhi: Pertama, laki-laki. Kedua,ikhtiyar (atas kemauan sendiri). Ketiga, ditentukan orangnya. Keempat, mengetahui calon istri atau namanya. Kelima, tidak sedang berihram. Keenam, bukan mahram.
Syarat pertama, laki-laki. Artinya calon suami harus betul-betul diyakini bahwa ia laki-laki. Seorang banci yang tidak jelas kelaminnya, tidak sah menjadi suami. Kedua, Ikhtiyar artinya akad nikah harus dilakukan atas kemauan sendiri, bukan karena terpaksa atau terancam. Maka tidak sah pernikahan orang yang dipaksa melakukan ijab kabul kecuali jika paksaan itu datang dari ayah kandung atau kakeknya (khusus), atau paksaan yang bisa dibenarkan. Sebagai contoh, seorang lelaki yang berpoligami menceraikan salah satu istrinya, padahal sang istri belum mendapat hak gilirnya (Hmm,,taukan yang saya maksud dengan Hak Gilir ?). Dalam hal ini hakim boleh memaksa si suami menikahi mantan istrinya tadi dengan ancaman penjara. Paksaan ini bisa dibenarkan, dan suami wajib menikahi wanita tersebut untuk memenuhi giliran menginap malam di kamarnya.

Syarat berikutnya adalah ditentukan orangnya. Maksudnya, calon suami adalah satu orang tertentu, bukan salah satu dari beberapa orang. Karena itu, jika ketika meng-ijab wali nikah mengatakan, “Aku nikahkan salah seorang dari kalian dengan putriku,” maka ini tidak sah, meskipun saat berkata demikian wali telah meniatkan orang tertentu. Berbeda halnya dengan istri. Jika wali berucap, “Aku nikahkan engkau dengan salah seorang putriku” dan dijawab calon suami, “Aku terima nikahnya,” maka hukum pernikahannya sah dengan catatan wali dan suami telah meniatkan mempelai wanita yang sama. Dua masalah ini dibedakan karena suami harus meng-qobul ijab dari wali, karena itu ia harus ditentukan sedangkan istri tidak demikian. Syarat selanjutnya adalah mengetahui calon istri. Calon suami harus tahu siapa wanita yang akan ia nikahi. Ini boleh dengan mengetahui orangnya atau namanya saja

Syarat yang lain, tidak berihram dengan haji atau umrah. Akad nikah tidak bisa dilakukan meskipun ihram tersebut telah rusak (karena persetubuhan sebelum tahallul awal dalam haji atau sebelum cukur dalam umrah). Orang yang sedang berihram tidak boleh menjadi suami, istri, wali maupun saksi karena Nabi Saw. bersabda:
"Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan menikahkan."
Sekali pun tidak boleh menikah, orang yang berihram masih boleh merujuk istri yang telah dicerai, karena rujuk hanya meneruskan pernikahan bukan memulainya.

Syarat berikutnya, bukan mahram, baik berupa mahram selamanya atau sementara. Mahram selamanya haram dinikahi karena ada hubungan saudara, sepersusuan atau pernikahan seperti anak, saudara kandung, saudara, mertua, menantu dan sebagainya. Mahram sementara maksudnya orang yang haram dinikahi karena ada penghalang. Contoh, laki-laki dengan adik istrinya. Selama ia menjadi suami dari istrinya, ia haram menikahi adiknya. Bila sudah bercerai dengan istri tersebut, ia boleh mengawini adiknya.

Demikian syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami. Dan sebagai catatan tambahan, dalam sebuah akad nikah suami boleh mewakilkan qobul kepada orang lain.

Adapun syarat-syarat menjadi istri juga ada enam: Pertama, yakin perempuan. Seorang banci yang belum jelas kelaminnya tidak bisa menjadi istri walaupun setelah akad nikah terbukti bahwa ia adalah seorang wanita. Lain halnya dengan wali dan saksi. Jika salah satu dari mereka banci dan terbukti kelelakiannya setelah akad, maka pernikahan itu tetap sah. Perbedaan dua permasalahan ini adalah: Suami dan istri adalah obyek yang diakad. Syariat sendiri sangat berhati-hati dalam masalah obyek melebihi lainnya.

Syarat kedua, ditentukan orangnya. Dalam akad nikah, wali harus menentukan siapa wanita yang ia nikahkan dengan menyebutkan nama, sifat atau keadaan. Contoh, dalam akad nikah, wali tidak menyebutkan nama mempelai wanita, tetapi hanya mengucapkan,“Aku nikahkan engkau dengan putriku." Kebetulan ia putri satu-satunya, atau 'putriku yang di rumah' dan hanya dia yang berada di rumah tersebut. Akad yang demikian ini sudah sah meskipun tanpa menyebut nama pengantin karena telah ditentukan dengan jelas.

Syarat ketiga, istri tidak dalam keadaan ihram (Berhaji atau Umroh). Syarat berikutnya keempat, tidak sedang dalam nikah dan iddah orang lain. Karena itu, tidak sah menikahi wanita yang sedang dalam ikatan pernikahan atau masih dalam masa iddah dari suami yang lama. Perkecualiannya adalah, jika yang melamarnya mantan suami itu sendiri, maka pernikahan itu boleh dilakukan. Gambarannya, seorang suami mentalak istrinya dengan imbalan sejumlah uang untuk sang suami. Kemudian, di saat istri masih menjalani masa iddah, si suami ingin menikahinya kembali. Pernikahan ini boleh dilakukan meskipun istri dalam keadaan iddah sebab iddah tersebut bukan milik orang lain.

Ada hal penting terkait pengakuan seorang wanita akan statusnya sendiri. Hal ini terkait erat dengan cara wanita tersebut mengakui statusnya. Jika calon istri hanya mengakusingle, tidak terikat dengan pernikahan maupun iddah, maka pengakuan ini langsung bisa diterima. Wali nikah boleh menikahkannya tanpa harus meneliti kebenaran pengakuan tersebut. Berbeda hukumnya jika pengakuan itu berbunyi: “Aku dulunya istri Fulan tetapi ia telah menceraikan aku atau ia telah wafat meninggalkanku.” Pengakuan ini tidak bisa diterima oleh hakim (wali umum) kecuali jika ada dua saksi. Namun jika yang menjadi wali nikah ayahnya sendiri (wali khusus), maka boleh mempercayainya asalkan ia menjelaskan kepada sang ayah siapa suami yang dimaksud.

Syarat kelima, calon istri bukan perempuan yang pernah di-li’an oleh calon suami. Li’an (melaknat) bisa terjadi bila suami yang menuduh istrinya berzina tanpa memiliki empat orang saksi. Jika tidak me-li’an istrinya, maka suami akan dihukum delapan puluh cambukan karena telah menuduh istri berzina tanpa bukti. Li’an menyebabkan suami istri berpisah selamanya secara lahir dan batin. Baik suami itu jujur atas tuduhannya atau sekedar berbohong. Dalam sebuah hadits:
"Suami istri yang telah saling melaknat tidak boleh saling menikah selamanya."

Syarat terakhir, calon istri bukan sebagai istri kelima. Jika seorang lelaki menikah dengan lima mempelai putri sekaligus, maka semua pernikahan ini batal, tidak seorang pun dari calon istri yang disahkan. Namun jika pernikahan poligami itu dilakukan secara berurutan satu persatu, maka istri kelima itulah yang tidak sah. Inilah enam poin yang harus dipenuhi seorang wanita untuk dapat menjadi istri yang sah.

Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang dianjurkan oleh Nabi Saw. dalam rangka menjaga setengah dari agama seseorang. Pernikahan bukan sekedar melampiaskan kebutuhan biologis belaka, karena kebutuhan seperti itu adalah kebutuhan hewani yang memang diperlukan oleh setiap makhluk bernyawa untuk memperbesar jumlah populasi mereka. Jika yang diinginkan oleh manusia dari pernikahan adalah kebutuhan hewani belaka, maka hal ini tentu bisa didapatkan dengan perzinaan, homoseksual dan sebagainya tanpa harus memperdulikan sisi negatif yang akan menimpanya di dunia dan di akherat. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, tujuan dan pandangan kita terhadap pernikahan janganlah seperti mereka yang tidak pernah bersujud kepada Allah SWT. Jadikanlah sebuah pernikahan sebagai jembatan untuk mendapatkan keridhoan Allah dan RasulNya. Allah dan Rasul tidak akan menganjurkan umatnya melakukan suatu perkara kecuali di sana terdapat ridhoNya!.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.